Jakarta,retromedia.id- Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat menyampaikan keterangan resminya sebagai pihak terkait dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di Mahkamah Konstitusi (MK), dengan perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025. Keterangan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Umum PWI Pusat, Akhmad Munir, di hadapan para hakim konstitusi di Gedung MK, Jakarta.
Dalam penyampaiannya, Akhmad Munir menegaskan bahwa Pasal 8 UU Pers yang mengatur perlindungan hukum bagi wartawan merupakan norma yang penting dan konstitusional. Namun demikian, ia menilai bahwa penerapannya di lapangan masih jauh dari harapan karena berbagai kendala, mulai dari lemahnya koordinasi antar-lembaga, kurangnya pemahaman aparat penegak hukum, hingga belum adanya mekanisme perlindungan yang efektif dan berkelanjutan.
“Pasal 8 adalah norma dasar yang menjaga kemerdekaan pers sekaligus keselamatan wartawan. Masalah utamanya bukan pada substansi pasal, melainkan pada pelaksanaan di lapangan yang belum optimal,” ujar Akhmad Munir di hadapan majelis hakim konstitusi.
PWI mencatat sejumlah kasus yang menunjukkan masih lemahnya perlindungan hukum terhadap wartawan. Di antaranya kasus penyekapan jurnalis Nurhadi di Surabaya (2021), pembunuhan wartawan Demas Laira di Sulawesi Barat (2020), serta kriminalisasi wartawan di Banyuwangi (2023) yang tetap diproses hukum meskipun Dewan Pers telah menyatakan berita tersebut merupakan produk jurnalistik. Selain itu, kasus ancaman digital terhadap wartawan perempuan di Makassar (2024) juga menjadi bukti bahwa perlindungan hukum belum menjangkau aspek kekerasan berbasis gender maupun serangan di ruang digital.
Dalam sidang tersebut, PWI menegaskan lima pokok pemikiran utama.
Pertama, Pasal 8 UU Pers harus dipertahankan sebagai norma deklaratif yang menjamin kemerdekaan pers, namun perlu diperkuat dengan aturan pelaksana yang lebih rinci.
Kedua, perlindungan hukum tidak identik dengan kekebalan hukum, karena wartawan tetap tunduk pada ketentuan hukum serta kode etik jurnalistik.
Ketiga, perlindungan harus dimaknai secara luas, mencakup ancaman fisik, digital, hingga kekerasan berbasis gender.
Keempat, koordinasi antar-lembaga seperti Dewan Pers, kepolisian, dan organisasi profesi wartawan perlu diperkuat agar mekanisme perlindungan berjalan efektif.
Dan kelima, negara wajib hadir secara aktif dalam memastikan perlindungan hukum bagi wartawan di seluruh Indonesia.
PWI berharap Mahkamah Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional yang memperkuat tanggung jawab negara dalam menjamin keamanan dan kemerdekaan pers.
“Kami percaya, dengan tafsir yang kuat dari MK, perlindungan terhadap wartawan dapat berjalan lebih nyata, berkeadilan, dan menjamin kemerdekaan pers yang beretika,” pungkas Akhmad Munir.
Sebagai organisasi profesi tertua di Indonesia, PWI menegaskan komitmennya untuk terus memperjuangkan keselamatan, profesionalisme, dan kesejahteraan wartawan melalui advokasi, peningkatan kompetensi, serta kerja sama kelembagaan dengan Dewan Pers dan aparat penegak hukum. Bagi PWI, kemerdekaan pers merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.[rls/pwi]