PALI,retromedia.id- Evaluasi kinerja kepala daerah dalam 100 hari pertama masa jabatan dinilai tidak proporsional jika dijadikan dasar untuk pemakzulan.
Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, Ahmad Syukri mengatakan bahwa tradisi evaluasi 100 hari memang memiliki nilai simbolis sebagai penanda awal masa kepemimpinan.
Namun, penggunaannya sebagai tolok ukur final untuk menilai kapasitas kepemimpinan dan mengambil langkah ekstrem seperti pemberhentian, dianggap tidak adil.
“Periode ini sebaiknya dipandang sebagai penilaian awal yang konstruktif, bukan evaluasi definitif yang langsung berujung pada sanksi ekstrem seperti pemakzulan,” ujarnya, Sabtu (9/8/2025).
Ia menegaskan, sistem pemerintahan daerah memiliki kompleksitas tinggi sehingga membutuhkan rentang waktu realistis untuk implementasi kebijakan.
Faktor warisan kebijakan sebelumnya, keterbatasan anggaran, hingga rumitnya koordinasi antar-lembaga harus menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan evaluasi.
Syukri menambahkan, pengalaman politik internasional menunjukkan bahwa pemberhentian pejabat yang dipilih melalui pemilu seharusnya hanya dilakukan jika terdapat bukti kuat terkait pelanggaran etika atau hukum yang jelas.
“Ketidakpuasan politik atau kinerja yang masih bisa diperbaiki tidak seharusnya menjadi alasan untuk memberhentikan kepala daerah,” tegasnya.
Sebagai alternatif, ia mendorong adanya mekanisme pengawasan dan pembinaan kinerja yang lebih konstruktif.
Langkah tersebut mencakup penguatan fungsi pengawasan, peningkatan transparansi, akuntabilitas, serta dukungan pengembangan kapasitas kepala daerah.
“Ini akan memberi kesempatan adil bagi kepala daerah untuk membuktikan kemampuannya sekaligus memperkuat kapasitas kelembagaan dan kematangan demokrasi di daerah,” tutupnya.(red)